Jumat, 14 Juni 2013

Langit senja kepada hidup




 Merayap pelan di Jalan indralaya-Palembang saat jam pulang kuliah berakhir merupakan pelatihan diri yang baik. Seolah mengamati dunia dalam lubang jarum, percepatan lambat memungkinkan kita menangkap dengan detail jalanan yang berlubang, ilalang gersang, tanah yang hancur, motor yang mengulur waktu untuk menyalip kendaraan di muka sebanyak-banyaknya, debu dan angin panas bersesak bersatu bersama jalan aspal, dan kendaraan.. lautan kendaraan.
Di balik kerumunan debu dan ilalang gersang, timbul matahari yang membola sempurna. jingga. Mata saya seketika melengak ke atas, sejenak meninggalkan pemandangan Jalan berdebu yang menguji kesabaran mental. Langit warna-warni khas senja. Campur aduk antara kelabu, biru, ungu, merah jambu, jingga. Seketika saya bertemu dengan sebuah rasa yang entah tak bernama. tidak ada deskripsi yang mendekati. Ada banyak hal yang membuat kita jatuh cinta pada hidup. Tak akan terukur akal mengapa kita jutaan kali mati dan lahir, seolah tak berakhir. Sesuatu yang mengundang kita untuk kembali, dan kembali lagi.
Dalam dunia, jasad, materi, debu, mengundang kita menjemput jiwa untuk  kembali mengalami. Dalam keadaan mabuk asmara, kita akan merasa lahir untuk seseorang yang kita cinta. Dalam keadaan terinspirasi, kita merasa lahir untuk berkarya dan mencipta. Seorang anak, dalam puncak kebahagiaannya, akan merasa lahir untuk membahagiakan kedua orangtuanya. Untuk banyak alasan, kita jatuh hati pada hidup dan isi kehidupan. Cinta yang terus datang dan pergi sesuai dengan situasi yang terus berganti.
Hidup memaksa kita untuk memilih dalam pilihan yang acak, kadang kita berpikir hidup ini bukan untuk kita, yang kita lakukan selalu salah, apa selalu begini utnuk menggapai asa dalam bualan. Terlalu pahit.
Langit senja di jalanan macet ini menggerakkan saya untuk menelusuri cinta yang nyaris tak terganti, yang meski hidup sedang sangat menyebalkan, saya tahu pikiran ini selalu menyertai jiwa saya. Untuk hal-hal inilah jiwa saya tergoda untuk kembali, dan kembali. Atau, minimal, hal-hal ini menjadi jaminan penghiburan jiwa saya selagi menjalani berbagai peran dan ragam drama yang harus dimainkan dalam hidup. Dan inilah daftar tersebut, dalam susunan acak.

Langit senja. Petikan gitar. Lambaian tangan .Gemercik hujan. Satu pelukan.

Ada kemurnian yang selalu menjemput jiwa saya untuk sejenak berdiam, arus dan gelombang boleh turun dan pasang, sehat- sakit-susah-senang boleh bergilir ambil posisi, tapi ada keindahan yang bergeming saat saya masih diizinkan untuk menatap langit senja, untuk bisa memetik gitar, untuk melihat kau melambaikan tangan sambil tersenyum padaku , untuk mendengar gemercik hujan yang menghujam kebumi, untuk selalu merasakan dan menampung aroma bebanmu saat aku memelukmu.
Sederhana memang, sama halnya dengan semua penelusuran sukar yang biasanya berakhir pada penjelasan sederhana. Kelima hal tersebut adalah hidup saya dalam skala yang kecil , yang selalu ada, walaupun jiwa saya menjalin dunia dengan materi dan sensasi ini. Bahkan kemacetan Jalan Indralaya-Palembang yang sempit tak mampu membendung cinta dan hidup ini.