Rabu, 25 Juni 2014

Awan kelabu di ujung Langit



Perasaan  ganjil dan tak tenang tengah menguasai pikiran , seolah terbagi menjadi dua bagian yang sama-sama berusaha menjauh. Berjarak. Banyak pertanyaan yang timbul dalam diri. Tak seharusnya melakukan ini. saya telah banyak belajar dari pengalaman lalu tapi satu pikiran datang kerap kali menggoda untuk mengulang. Mengulang hal yang tak seharusnya  dilakukan. Lagi. Pikiran satu berkata ,memang ini sudah jalannya, pikiran lain , seharusnya kau bisa mengendalikan dirimu, tegas.






Oktober, malam sedikit mendung , saya berpakaian lebih rapi dari hari biasanya. Memakai kemeja lengan panjang, bukan kaos berkerah. Saya memasuki ruangan sendirian, melihat sekeliling terlihat panggung kecil beserta peralatan band dengan warna hijau dominan. Hijau . ya, warna kesukaanmu.
Aku mendapatimu tengah mengobrol bersama teman-teman geng mu, yang selalu  tertawa mengikik saat aku mendekatimu. dengan dress mu dipadukan dengan sepatu dan pernik lainnya. Kau tampak cantik. Selalu. Aku gugup melihatmu sesaat kau tersenyum manis saat mendapati kehadiranku. Satu teman mengisyaratkan teman lainnya untuk melihatku, lalu mereka tersenyum.
Aku hanya banyak diam saat acara berlangsung, Jelas aku minoritas disini. hanya sesekali mengobrol dengan orang disebelah. Yang sibuk menjelaskan keadaan sekolah mereka yang katanya lebih baik dari sekolah lain yang ada dikota ini. Sungguh aku tak peduli , aku terlalu sibuk memperhatikanmu yang tengah berkumpul bersama keluargamu. Kau menoleh ke arahku dan meminta untuk aku tunggu .
Kau menghampiriku setelah acara selesai , kini ruangan itu telah sepi, hanya ada beberapa orang yang sedang membereskan kursi dan meja. Lalu pergi.  Aku memandangi hiasan hijau yang berkeliling menghiasi ruangan. Dan huruf –huruf cina yang mungkin berartikan ucapan selamat ulang tahun dan doa doa  kesejahteraan. Entahlah
“Kau lihat apa,to ?,” tanyamu, luwes.
“ Oo. Tidak, aku hanya berpikir acara ulang tahunmu malam ini, meriah.
“Selamat ulang tahun, ,” mulutku berucap pendek, sambil menyerahkan kotak kado kecil. Yang sedari tadi aku simpan disaku kemejaku. Matanya membesar terkejut  dan Wajahnya sumringah saat menerima kado dariku.  
“Tak seberapa, tapi aku yakin bermanfaat” tegasku sambil tersenyum. Dan kau diam, hanya tersenyum. Mata kita bertemu, ada gejolak aneh dalam perutku, tak bisa dijelaskan.
“Aku kira kau tak akan pernah datang” katamu pelan,,
Kali ini aku yang diam, hanya menatap tajam matamu, lalu berucap perlahan,
 “ aku disini,  untukmu “
 Entah siapa yang duluan wajah kita berdekatan, sangat dekat. Sampai aku bisa melihat bintik bintik kecil di pipimu. dan garis-garis merah bibirmu.
Lama.. mengalir.. lembut..



 



“Aku pulang,” sambil menutup kaca helm.
“Hati- hati,’’ ucapmu, melambaikan tangan bersama senyum yang mengembang.
Terlihat ujung langit yang sedari tadi mendung berubah berkilau penuh bintang yang bersembulan dari carikan awan kelabu. Malam ini indah, sungguh indah.

“Sebelum kita sadar, sama-sama sadar,, bahwa hubungan..Ini takkan mungkin..”


Jumat, 14 Juni 2013

Langit senja kepada hidup




 Merayap pelan di Jalan indralaya-Palembang saat jam pulang kuliah berakhir merupakan pelatihan diri yang baik. Seolah mengamati dunia dalam lubang jarum, percepatan lambat memungkinkan kita menangkap dengan detail jalanan yang berlubang, ilalang gersang, tanah yang hancur, motor yang mengulur waktu untuk menyalip kendaraan di muka sebanyak-banyaknya, debu dan angin panas bersesak bersatu bersama jalan aspal, dan kendaraan.. lautan kendaraan.
Di balik kerumunan debu dan ilalang gersang, timbul matahari yang membola sempurna. jingga. Mata saya seketika melengak ke atas, sejenak meninggalkan pemandangan Jalan berdebu yang menguji kesabaran mental. Langit warna-warni khas senja. Campur aduk antara kelabu, biru, ungu, merah jambu, jingga. Seketika saya bertemu dengan sebuah rasa yang entah tak bernama. tidak ada deskripsi yang mendekati. Ada banyak hal yang membuat kita jatuh cinta pada hidup. Tak akan terukur akal mengapa kita jutaan kali mati dan lahir, seolah tak berakhir. Sesuatu yang mengundang kita untuk kembali, dan kembali lagi.
Dalam dunia, jasad, materi, debu, mengundang kita menjemput jiwa untuk  kembali mengalami. Dalam keadaan mabuk asmara, kita akan merasa lahir untuk seseorang yang kita cinta. Dalam keadaan terinspirasi, kita merasa lahir untuk berkarya dan mencipta. Seorang anak, dalam puncak kebahagiaannya, akan merasa lahir untuk membahagiakan kedua orangtuanya. Untuk banyak alasan, kita jatuh hati pada hidup dan isi kehidupan. Cinta yang terus datang dan pergi sesuai dengan situasi yang terus berganti.
Hidup memaksa kita untuk memilih dalam pilihan yang acak, kadang kita berpikir hidup ini bukan untuk kita, yang kita lakukan selalu salah, apa selalu begini utnuk menggapai asa dalam bualan. Terlalu pahit.
Langit senja di jalanan macet ini menggerakkan saya untuk menelusuri cinta yang nyaris tak terganti, yang meski hidup sedang sangat menyebalkan, saya tahu pikiran ini selalu menyertai jiwa saya. Untuk hal-hal inilah jiwa saya tergoda untuk kembali, dan kembali. Atau, minimal, hal-hal ini menjadi jaminan penghiburan jiwa saya selagi menjalani berbagai peran dan ragam drama yang harus dimainkan dalam hidup. Dan inilah daftar tersebut, dalam susunan acak.

Langit senja. Petikan gitar. Lambaian tangan .Gemercik hujan. Satu pelukan.

Ada kemurnian yang selalu menjemput jiwa saya untuk sejenak berdiam, arus dan gelombang boleh turun dan pasang, sehat- sakit-susah-senang boleh bergilir ambil posisi, tapi ada keindahan yang bergeming saat saya masih diizinkan untuk menatap langit senja, untuk bisa memetik gitar, untuk melihat kau melambaikan tangan sambil tersenyum padaku , untuk mendengar gemercik hujan yang menghujam kebumi, untuk selalu merasakan dan menampung aroma bebanmu saat aku memelukmu.
Sederhana memang, sama halnya dengan semua penelusuran sukar yang biasanya berakhir pada penjelasan sederhana. Kelima hal tersebut adalah hidup saya dalam skala yang kecil , yang selalu ada, walaupun jiwa saya menjalin dunia dengan materi dan sensasi ini. Bahkan kemacetan Jalan Indralaya-Palembang yang sempit tak mampu membendung cinta dan hidup ini.

Minggu, 31 Maret 2013

cinta dan sekotak permen cokelat



love is so short. forgetting is so long





Cerita dan mimpi adalah bunga tidur. Saya tak tahu siapa yang mendefinisikan seperti itu tapi begitulah adanya , kita hanya mengalir mengikuti paham dan pemikiran yang absurd kadang kadang. Entahlah.
Dulu sekali, saat masih kecil, saya pernah membaca komik, yang menceritakan, seseorang dapat berpijak di bulan,ia  bermimpi ternyata bulan adalah segumpalan coklat megasuper besarnya. Disana cokelat bisa dimakan oleh siapa saja kapanpun, cokelat disana diberikan oleh perempuan cantik bergigi rapi,putih, yang saya rasa mungkin iya tak pernah memakan cokelat disana. Tapi itu semua mimpi didalam cerita, tak semuanya pernah terjadi.
Kemarin saya teringat  akan memori satu waktu pernah diminta seorang teman menemaninya mencari novel kesukaannya. serial cinta, di toko buku didaerah jln, kol. Atmo . saya sempat terheran mengapa perempuan sangat menyukai serial drama cinta . ya drama. Terlalu suka  memainkan perasaan daripada logika. Tiga perempat sifat perempuan,hampir pasti itu. Entahlah.
Setelah mendapatkan novelnya, dia menarik saya ke minimarket tak jauh dari toko buku tersebut.  Dia menyambar sesuatu sesaat sebelum saya membayar di kasir. Kecepatan tangan si kasir tidak memberikan kesempatan pada saya untuk melihat dulu, bahkan menyetujui apa yang dia ambil.
Baru setelah sampai di rumahnya saya mengetahui bahwa dia membeli sekotak permen cokelat . Tapi kemasan  ini lebih kecil dari yang biasa saya lihat. Ketika saya buka isinya, menghamburlah warna-warni cokelat yang khas, tapi kali ini dengan ukuran mini. Tidak ada catatan khusus. dalam hati ketika melihat permen itu, cuma komentar pendek “lucu yaa, ada ukuran sekecil ini” sambil mengunyah beberapa. Saat saya mengunyah permen cokelat warna-warni, saya ingat akan cerita yang pernah saya baca tersebut. Dan melamunkan perempuan cantik bergigi putih dalam cerita itu..

“Enak  ... cokelatnya beda ya to ? “


“Biasa saja.. rasa coklat selalu sama kan”.. aku jawab sekenanya saat itu. Berbarengan dengan buyarnya lamunan.

Rasa cokelat beda lho.. persepsi kita kan beda.. dito biasakan sensitif sedikit. Persepsi membedakan rasa. Iya kan ?”


Saat itu aku hanya diam. benar. Ya benar sekali. juga dalam cinta , Kita yang kecewa barangkali bukan karena cinta telah diduakan. Cinta tak bertuan. Kitalah abdi-abdi cinta, mengalir dalam arusnya. Persepsi kitalah yang telah diduakan. Lalu kita merasa sakit, kita merasa dikhianati. Namun tengoklah apa yang sungguh-sungguh kita pegang selama ini. Perlukah kita ikut berteriak jika yang kita punya hanyalah selebarannya saja, bukan barangnya? Barangkali ini momen tepat untuk mengevaluasi aneka selebaran yang telah kita kumpulkan dan kita percayai mati-matian. Betapa seringnya kita hanyut dalam kecewa, padahal persepsi kitalah yang dikecewakan. Betapa seringnya kita menyalahkan pihak lain, padahal ketakberdayaan kita sendirilah yang ingin kita salahkan. 

Apapun persepsi kita atas cinta, tak ada salahnya bersiap untuk senantiasa berubah. Jika hidup ini cair maka wadah hanyalah cara kita untuk memahami yang tak terpahami. Banyak cara untuk mewadahi air, mencoba merangkul, tapi wadah bukan segalanya. Pelajaran yang dikandungnyalah yang tak berbatas dan selamanya tak bertuan, yang satu saat menghanyutkan dan melumerkan selebaran yang kita puja. Siap tak siap, rela tak rela...

Sabtu Hening







Semasa sekolah, pada saat itu, saya sering bertanya-tanya sendiri ,  kenapa saya harus berada di tempat yang sama, pada waktu yang sama, dan pada hari-hari yang sama, secara  terus menerus ? Akibatnya, saya sering membuat variasi sendiri, misalnya dengan bolos, datang terlambat (didukung lagi oleh penyakit kecanduan game yang kronis). Saya telah terjebak dalam “rutinitas”. 

Banyak artikel yang telah saya baca menyatakan bahwa orang-orang seperti saya cenderung cocok  berprofesi dalam bidang seni, dengan pola waktu dan aktivitas yang berubah-ubah. Meski kadang bermusik dan menulis pun butuh rutinitas, tapi biasanya tidak berlangsung dalam waktu lama.

            Kadang saya berpikir rutinitas tidaklah selalu membosankan, kita hanya butuh pemikiran dan praktek yang berbeda  untuk membuat bumbu menyenangkan didalam rutinitas itu sendiri. Mungkin itu tidaklah berhasil untuk membuat kita menyukai rutinitas lalu mencari opsi lain. Move.

 Dulu saya menemukan satu rutinitas baru yang saya jalankan. Tentunya ini jadi fenomena langka. Sepanjang ingatan saya, tidak banyak rutinitas yang saya pilih melalui inisiatif sendiri, lebih banyak karena terpaksa (sekolah misalnya). Rutinitas baru ini tak punya judul resmi. Berlangsung setiap sabtu malam  selama dua jam di rumah salah satu teman. saya masih ingat, Ada teman yang menyebutnya PSH (Perkumpulan sabtu hening) , ada juga yang menamainya relaksasi sabtu hening #abaikan saja. 

            Rutinitas yang tidak punya judul resmi. Oke sesuai namanya tak ada schedule apa yang harus kami kerjakan. Hanya mengobrol kumpul bersama sesama tuna asmara pada saat itu. Haha .Semuanya berubah saat ayahnya teman saya . yang rumahnya kami tumpangi. mengajak kami semua untuk apa itu namanya , meditasi kalo tidak salah. Maklum beliau katanya memang bekerja sebagai “instructor” kegiatan seperti itu.

Entah mengapa, pengalaman di satu sabtu malam, terasa ekstra berkesan, sampai-sampai menggerakkan saya untuk menuliskan  ini. Malam itu, kami hadir berenam. Kami disuruh Duduk bersila membentuk lingkaran di atas lantai. Suasana sunyipun mendukung  hanya kadang mengantarkan bunyi knalpot sayup-sayup. beliau menginstruksikan kami untuk membuka mulut bergumam membunyikan bunyi “haa” selama satu menit. Yang saya ingat beliau mengatakan teknik menggumam tersebut sangat berhubungan dengan rasa syukur, ikhlas, dan ketenangan. karena sehari-hari, memang secara alamiah kita  pun melakukan bunyi ini untuk mengekspresikan kelegaan,ataupun pelepasan emosi. Jujur saya merasakan ketenangan batin. Tak tahu mengapa.

Ini merupakan pengalaman pertama saya melakukan aktifitas “meditasi”. terakhir beliau menyuruh kami  hening. Sama-sama lima menit. Total kami meditasi selama tiga puluh menit. Malam ditutup dengan sharing mengenai kesan dan pengalaman kami, jujur saya canggung dan saya yakin teman-teman saya yang lain juga demikian. Karena secara pribadi saya merasa sebagai orang yang tertutup, tapi saya tak mungkin merusak meditasi malam itu. terlalu berharga buat dilewatkan.

Saat saya berbagi, barulah saya menyadari betapa cemerlangnya rangkaian latihan sederhana tadi, dan betapa dalam manfaatnya bagi orang-orang yang hidup dalam irama cepat dan pikiran yang terus menerus dibuat gelisah.